anak tidak mau sekolah

Edit Posted by with No comments
Hasil gambar untuk anak tidak mau sekolah
Sewaktu pertama kali masuk kanak-kanak, suami saya bercerita bahwa ia terserang histeria. Ia tidak mau masuk sekolah. Hari pertama di TK, pria saya ini diantar kedua orang tuanya. Sesampainya di tikungan, ia meronta, hendak memegangi tiang listrik seharian. Tidak mau sekolah! Papa-mamanya bingung, menarik-narik anak tidak lepas juga. Walhasil, mereka membawa pulang anak. Untung hari kedua, sudah agak berubah. Dari hari ke hari berangsur-angsur membaik karena banyak teman-teman yang bercerita dan meyakinkan bahwa di taman kanak-kanak itu menyenangkan!
Seingat saya, sewaktu TK, saya sangat ingin pergi ke sekolah bersama saudara dan tetangga. Berduyun-duyun berjalan kaki di pagi hari. Wah, sekolah itu seperti sebuah surga kecil. Dan ini menjadi sebuah dorongan untuk mencapai pendidikan tertinggi tanpa paksaan dari siapapun.
***
Sindrom tidak mau ke sekolah, menyerang anak sulung. Ia paling alergi pergi ke sekolah. Saat di taman kanak-kanak, ia doyan bermain drama sekian babak. Tidak mau masuk TK. Maunya nonton TV dirumah. Haduh, pusing harus dibujuk dibelikan ini-itu di akhir pekan oleh sang bapak dari kantor, lewat telpon segala.
Begitu pula sewaktu SD. Anak diberi janji untuk boleh menonton film kesukaannya jika mau masuk sekolah. Berulang-ulang ia mengatakan, “Sekolah itu menyenangkan kalau tanpa mata pelajaran dan PR. Andai hari ini hari libur ….”
Akhirnya ia baru sadar tahun 2013 ini (7 tahun setelahnya) bahwa; masuk sekolah itu menyenangkan. Banyak para gadis belia yang memujanya dan menunggu kedatangannya. Si anak layaknya kumbang mencari bunga.
Meski ia tetap malas untuk bikin PR dan belajar, keberangkatannya ke sekolah tak pernah dipaksa lagi. Sudah mandiri, sudah mau dan bisa bangun sendiri dan berangkat ke sekolah sendiri tanpa didorong. Kami bersyukur, peningkatan signifikan walapupun memakan waktu cukup panjang.
Alasan lain mengapa ia terbujuk masuk sekolah adalah kami sudah banyak berbicara padanya bahwa silahkan kalau tidak mau sekolah tetapi harus diingat bahwa pergi ke sekolah di negeri Jerman itupflichtig alias wajib. Polisi bisa turun tangan, razia, kalau seorang anak usia sekolah kelayapan di kota pada jam sekolah. Dan kami sebagai orang tua, tidak akan membiarkan anak berdiam diri di rumah saat harus ke sekolah.
***
Alhamdulillah anak kedua kami tidak ada masalah. Bahkan meski baru diperbolehkan masuk TK umur 2,5 tahun. Sejak berumur 2 tahun, ia mengajak saya mengunjungi TK setiap pagi! Sekarang ia sudah masuk SD, senangnya bukan main. Rajin bikin PR dan pulang ke rumah (30 menit jalan kaki) bersama teman dan tetangga dekat.
Setelah saya tanya, ia bercerita bahwa sekolah itu menyenangkan. Banyak kawan yang ia temui untuk bermain dan belajar. Bahkan ia mendapat pelajaran dan pengalaman baru selama di kelas bersama guru dan kawan-kawannya.
Jadi tanpa dibujuk-bujuk … sudah mantab sendiri. Namanya anak, satu kantong isinya beda.
***
Sayang sekali, si ragil mulai aksi. Mungkin ia memang terlalu lama saya susui. Dua tahun dua bulan. Itu saja saya pakai maksamedhotnya. Jadi buntut saya.
Ketika berumur 3 tahun dan harus masuk TK. Hedeh, repotnya minta ampun. Saya sempat tidak tega, ia panik. Kejadian ini terjadi setiap hari sampai ia berumur 4,5 tahun. Nangis-nangis kalau saya sudah mencium bibirnya dan meninggalkan kelas. Hiks.
Ya, taman kanak-kanak masih termasuk program freiwilig alias suka rela dan membutuhkan bea bukan gratis seperti jenjang pendidikan berikutnya. Karena seorang anak butuh sosialisasi, tumbuh bersama teman sebaya dan suasana baru, saya seolah mewajibkan anak-anak masuk TK setiap hari. Tidak boleh bolos kecuali sakit.
Nah. Kemarin itu, pas saya pergi seminggu ke Rumania. Semua pekerjaan rumah tangga diampu suami saya. Agak perot juga karena kepala rumah tangga harus mencari nafkah juga. Bekerja. Tuh, kan … tidak mudah jadi bapak rumah tangga.
Walhasil, lelaki saya ini pusing tujuh keliling menghadapi mbak Nowa yang rewel tidak mau sekolah.
Karena kehabisan kata-kata, ia ingat bahwa si gadis kecil paling demen sama Barbie. Sang bapakpun melancarkan guna-guna “Nanti kalau seminggu mau masuk TK selama mama nggak ada, kita beli Barbie kesukaanmu.”
Wahhhh manjur. Seminggu selama saya tinggal, ia begitu riang pergi ke taman kanak-kanak. Sampai guru kelasnya keheranan,“Belum pernah Nowa begitu gembira ke sekolah.” Lha iya, dapat Barbie Mariposa warna merah jambu!
Weee … lah. Ketika saya kembali ke Jerman, penyakitnya kambuh lagi. “Tidak mau masuk TK.” Itu kalimat utama yang ia ucapkan setelah kata “mama”, usai bangun dari tidur.
“Ya, kamu tinggal di rumah sama mama.” Saya mengiyakan. Lalu, saya ingatkan pelan-pelan akan janjinya pada papa bahwa jika ia mau masuk sekolah terus , bisa dapat Barbie. Bukannya sudah lulus permintaannya? Si bocah termenung. Tapi tetap geleng kepala, mulutnya maju, mecucu. Duh, jelek.
Saya siapkan sarapan sereal, saya bantu mengganti baju tidur dengan baju pergi. Ia paling suka yang feminin; rok dan warna yang pink! OK. Setelahnya, minum air putih, gosok gigi dan memakai sepatu serta jaket.
Ia tidak bertanya-tanya lagi. Seperti sapi dicocok hidung. Ya sudah, kami berangkat ke sekolah. Tidak terdengar nada protes. Ia diam dan mengikuti langkah saya. Begitu terjadi sampai hari Jumat, pekan ini.
Ah, Jerman sudah pagi, sudah hari Sabtu. Oi. Masih ada hari Minggu pula untuk menuju Senin, dimana hari yang sering terdengar kalimat “Saya tidak mau sekolah.” Dan saya harus sabar mengantisipasi. Oh, naaaak-nak … cepat besar, ya? Sekolah itu, untuk masa depanmu.(G76).

0 komentar:

Posting Komentar